Selasa, 12 Februari 2013

PEMBERDAYAAN, MORE THAN WORDS CAN SAY.


             Setali tiga uang dengan kata koordinasi, pemberdayaan lebih mudah terucap ketimbang terlihat wujudnya.  Setidaknya itu tergambar di lingkungan sekitar kita saat ini, bila dahulu gotong royong merupakan urat nadi kehidupan masyarakat Indonesia, kini gotong royong menjadi sebuah komoditas yang langka.  Barangkali pergeseran nilai telah terjadi, dimana informasi dan teknologi menjadi stimulannya. Namun disadari, lokomotif pembangunan bangsa ini tidak akan laju tanpa adanya peran serta masyarakatnya.  Di sinilah pemberdayaan masyarakat menjadi bagian penting dalam kerangka pembangunan indonesia sesungguhnya.

            Pemberdayaan masyarakat sejatinya bertujuan mengubah kondisi yang sebelumnya tidak berdaya menjadi memiliki kekuatan dan inisiatif untuk memperbaiki situasi yang tidak/kurang baik melalui proses interaksi sosial.  Gotong royong merupakan salah satu bentuk interaksi sosial  dimaksud.  Di situ tersirat nilai peran serta dari masyarakat pengusungnya melalui apa yang kita kenal dengan istilah swadaya, bisa berupa tenaga, uang, material dsb.  Tapi entah mengapa kita seakan kembali belajar bagaimana meraih keberdayaan masyarakat kita, bersusah payah mengajak peran serta masyarakat kita dalam pembangunan, menggalakkan kembali arti penting gotong royong, padahal konon itu merupakan ciri khas bangsa kita, dan ghalibnya lagi kita harus sampai berhutang kepada masyarakat internasional untuk mencapai itu semua, why?

            Seorang James Russell Lowell pernah berkata,”Not failure, but low aim, is crime” (tidak gagal, tapi tujuan dangkal, adalah kejahatan).  Pun pendahulu kita, Ki Hajar Dewantara juga pernah berujar, “Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani” (yang di depan memberi contoh, yang di tengah membangun kemauan, yang dibelakang mengikuti).  Harus diakui kita gagal menjaga nilai-nilai yang mengarah pada keberdayaan masyarakat, namun pertanyaanya sekarang adalah apakah cukup dengan merasa malu saja? Apakah belum puas kita menghujat diri kita sendiri? Apakah pemberdayaan masyarakat masih realistis dilaksanakan/masih mungkin terwujud?.  Bersyukur, saya menemukan jawaban itu dari buah pikir mereka berdua, bagaimana dengan Anda?    


0 komentar:

Posting Komentar