Senin, 06 Januari 2014

JAS MERAH

“Jangan Sekali-kali melupakan sejarah”
                  -Ir. Soekarno-

Yes! JAS MERAH, segala hal meninggalkan arti sejarah.   Demikian pula Pengadaan Barang/Jasa yang memiliki proses dan sejarahnya sendiri.  Meski belum mempunyai Undang-Undang yang mengatur Pengadaan Barang/Jasa, Pemerintah Indonesia telah memiliki Perpres Nomor 54 Tahun 2010 beserta perubahannya yang menjadi mainstream dalam pengadaan barang/jasa hingga saat ini.  Perpres Nomor 54 Tahun 2010 beserta perubahannya tidak berdiri sendiri, masih ada peraturan dan perundangan lain terkait yang patut kita ketahui, karena bicara tentang Pengadaan Barang/Jasa, sesungguhnya tak bisa lepas dari aturan penganggaran, pengawasan dan sekaligus pengendalian di dalamnya.

Tak jelas kenapa Undang-Undang tentang Pengadaan Barang/jasa Pemerintah tak juga kunjung  terbit, padahal bila menilik dari kasus korupsi yang kerap terjadi di negara ini, Pengadaan barang/jasa adalah sektor yang berkontribusi paling besar, artinya bila bangsa ini pro pemberantasan korupsi seharusnya Undang-Undang tersebut menjadi prioritas nomor wahid. But the show must go on, yang jelas dari koordinat  manapun kita memulai pembenahan sebuah lingkaran masalah, satu saat kita tetap akan melewati semua koordinat dalam lingkaran tersebut, it just the time.  Dan berikut adalah beberapa peraturan perundangan nasional dan internasional yang patut kita ketahui dan pahami terkait pengadaan barang/jasa antara lain :

·         Undang-undang Nomor 9/1995 tentang Usaha Kecil

Undang-undang ini dimaksudkan untuk meneguhkan bahwa usaha kecil merupakan bagian integral dari keseluruhan dunia usaha, yang merupakan kegiatan ekonomi rakyat yang mempunyai potensi dan peran strategis dalam mewujudkan ekonomi nasional. Oleh karena itu mewajibkan pemerintah untuk menumbuhkan iklim usaha bagi usaha kecil, melalui peraturan perundangundangan dan kebijaksanaan yang meliputi aspek pendanaan, persaingan, prasarana, informasi, kemitraan, perizinan dan perlindungan.

·         Undang-Undang Nomor 5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

Dalam UU Nomor 5/1999, mengatur tentang persaingan antar usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran/jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.

Untuk mengawasi pelaksanaan undang-undang ini telah dibentuk komisi independen yaitu Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang memiliki wewenang untuk membatalkan kontrak yang telah ada bila ternyata ada unsur KKN disana. Jadi dengan adanya UU ini, apabila ada indikasi terjadi persekongkolan dan pengaturan pemenang dalam pengadaan barang/jasa pemerintah, pengadaan atau kontrak tersebut dapat diperiksa oleh KPPU dan apabila terbukti maka pengadaan dan kontraknya dapat dibatalkan oleh KPPU.

·         Undang-Undang Nomor 18/1999 tentang Jasa Konstruksi dan PP29/2000 Tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi

Undang-undang 18/1999 dimaksudkan untuk memberikan landasan hukum pengembangan iklim usaha, peningkatan daya saing, mewujudkan kemitraan yang sinergis antar penyedia jasa kontruksi besar, menengah dan kecil, perlindungan hak guna dan perlakuan yang adil bagi semua pihak yang terkait dengan penyelenggaraan jasa konstruksi.

Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 2000 Tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi merupakan pedoman bagi instansi pemerintah dalam melaksanakan pengadaan jasa konstruksi. Peraturan Pemerintah ini antara lain mengatur tentang tata cara pemilihan penyedia jasa konstruksi, kontrak kerja konstruksi dan kegagalan konstruksi. Adapun lingkupnya meliputi jasa konstruksi yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah maupun swasta.

·         Undang-Undang Nomor 25/1999 tentang Perimbangan KeuanganAntara Pemerintah Pusat dan Daerah, dan Peraturan Pemerintah Nomor 105/2000 tentang Pengelolaan dan PertanggungjawabanKeuangan Daerah

UU No. 25/1999 dimaksudkan untuk memberikan landasan hukum bagi penyelenggaraan otonomi daerah melalui penyediaan sumber pembiayaan berdasarkan prinsip desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas perbantuan serta pengaturan perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah.

UU No. 25/1999 memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur tentang tata cara pengadaan barang/jasa atas beban APBD yang harus diatur dengan PERDA atau Keputusan Kepala Daerah. Namun demikian perlu diperhatikan bahwa ketentuan pengadaan barang/jasa yang diatur dalam PERDA tersebut tetap harus mengacu, konsisten dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip pengadaan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi urutannya.

·         Undang-Undang Nomor 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas KKN, UU No. 31/1999

UU No. 28/1999 dimaksudkan untuk menetapkan asas bagi penyelenggaraan pemerintah yang bersih, yaitu asas kepastian hukum, tertib penyelenggaraan negara, kepentingan umum, keterbukaan, profesional dan akuntabel. Selain dari pada itu UU ini mengatur tentang hak dan kewajiban penyelenggara negara termasuk PPK dan bendaharawan proyek yang memiliki fungsi strategis dan rawan terhadap praktek korupsi, kolusi dan nepotisme.

·         Undang-Undang Nomor 16/2001 tentang Yayasan

Undang-Undang ini mengatur mengenai pendirian dan kedudukan yayasan sebagai badan hukum yang mempunyai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan yang bersifat nir laba dan tidak untuk mencari keuntungan semata (profit taking).

Yayasan dimungkinkan dapat melakukan kegiatan usaha yang sesuai dengan maksud dan tujuan yayasan dengan cara mendirikan badan usaha atau melalui penyertaan modal maksimal 25%, dan usaha tersebut harus sesuai dengan tujuan yayasan tersebut.


Selain itu juga ada beberapa Peraturan pengadaan barang/jasa internasional yang diterbitkan oleh asosiasi atau lembaga internasional dan lembaga atau negara pemberi pinjaman atau hibah luar negeri (PHLN).

· Peraturan pengadaan yang diterbitkan oleh asosiasi dan lembaga internasional
  FIDIC (Federation Internationale Des Ingenieurs-Conseils/Federasi internasional dari Insinyur Konsultan). Menerbitkan dokumen-dokumen standar yang berkaitan dengan dokumen lelang, dokumen evaluasi, dokumen prakualifikasi, dan kontrak konstruksi internasional.

           UNCITRAL (United Commision on International Trade Law) adalah salah satu        lembaga dari PBB. UNCITRAL menerbitkan berbagai peraturan yang berkaitan      dengan perdagangan internasional diantaranya model tentang pengaturan            pengadaan barang/jasa.

·  Peraturan pengadaan yang diterbitkan oleh Bank Dunia (IBRD), Bank Pembangunan Asia (ADB), dan Japan Bank of International Cooperation (JBIC)

          Peraturan pengadaan barang dan jasa yang diterbitkan oleh IBRD :
-       Guideline for Selection and Employment of Consultants

-       Guideline of procurement Under IBRD Loan and IDA Credit for Good And Civil Work
-       Standard Bidding Document for Procurement of Good (include Standard Form of Contract)
-       Standard Bidding Document for Procurement of Work (include Standard Form of Contract)

           Peraturan pengadaan barang dan jasa yang diterbitkan oleh ADB
-       Guideline on use of Consultant by ADB and Its Borrower
-       Hand Book on Policies Practice and Procedure Relating to the Procurement under ADB Loan

           Peraturan pengadaan barang dan jasa yang diterbitkan oleh JBIC
-       JBIC Loan Hand Book

           Konvensi Internasional
Dalam era globalisasi ini baik pemerintah maupun swasta tidak dapat menghindari terjadinya transaksi internasional. Dalam kaitan tersebut, pihak-pihak yang bersangkutan akan menghadapi persoalan pilihan peraturan perundangan atau hukum mana yang akan diberlakukan. Dengan kata lain akan terdapat persoalan pilihan antara peraturan perundangan atau hukum nasional dengan hukum asing yang akan digunakan.

Pilihan tersebut dapat diperjanjikan dalam kontrak bisnis internasional. Namun apabila diantara pihak tidak tercapai kesepakatan mengenai pilihan tersebut, terdapat asas hukum perdata internasional yang terkenal sebagai “the most characteristic connection of the agreement”. Berdasarkan asas tersebut maka peraturan perundangan/hukum dari pihak yang paling banyak melaksanakan pekerjaan yang diperjanjikan atau paling banyak karakteristiknya dalam pelaksanaan perjanjian. Misalnya dalam perjanjian jual beli barang secara internasional, penyedia berkewajiban untuk menyediakan, mengumpulkan, mengepak, mengangkut, mengasuransikan dan menyerahkan kepada pengguna.

Sementara itu pengguna hanya menerima dan membayar sejumlah uang saja, maka peraturan perundangan/hukum yang berlaku adalah negara penyedia barang/jasa tersebut.



read more

Minggu, 17 Februari 2013

Beda : Guarantee dan Warranty


Dalam kelas pelatihan barang/jasa sering menemukan kesalahpahaman peserta terhadap istilah sertifikat garansi. Hal ini kemudian berdampak pada efektifitas pencapaian kualitas barang yang didapatkan pemerintah dari pengadaan barang/jasa.
Perpres 54/2010 memberikan porsi tersendiri soal sertifikat garansi sebagai bagian dari proses dalam cara pengadaan melalui penyedia barang/jasa. Tepatnya pada Bagian Kesembilan yang berisi satu pasal, yaitu pasal 72 :
1.   Dalam Pengadaan Barang modal, Penyedia Barang menyerahkanSertifikat Garansi.
2.   Sertifikat Garansi diberikan terhadap kelaikan penggunaan Baranghingga jangka waktu tertentu sesuai dengan ketentuan dalam Kontrak.
3.   Sertifikat Garansi diterbitkan oleh Produsen atau pihak yang ditunjuk secara sah oleh Produsen.

Dalam tulisan singkat ini saya hanya mencoba mengembalikan pada definisi umum tentang garansi. Sertifikat menurut Kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) adalah surat keterangan (pernyataan) tertulis atau tercetak dari orang yg berwenang yg dapat digunakan sbg bukti pemilikan atau suatu kejadian. Sementara untuk garansi hanya disebutkan sebagai jaminan.

Hal ini sebenarnya selaras dengan penjelasan pasal 67 ayat 2 tentang jaminan dalam pengadaan barang/jasa. Bunyi tepatnya menyebutkan Terhadap Pengadaan Barang tidak diperlukan Jaminan Pemeliharaan namun harus memberikan Sertifikat Garansi. Jadi garansi adalah jaminan pemeliharaan atas barang.

Dalam dunia penjaminan untuk barang dikenal istilah Guarantee dan Warranty. Dalam kamus Inggris dan bahasa ala mbah google Guarantee ditranslate sebagai Jaminan. Sedangkan Warranty ditranslate dengan garansi. Sementara dalam KBBI hanya dikenal kata garansi dengan arti seperti dijelaskan sebelumnya. Disinilah kemudian letak kerancuan ini bermula.

Guarantee adalah jaminan kualitas dari penjual atau produsen atau pabrikan atas barang/jasa yang dijual. Apabila pembeli tidak puas atau jika barang/jasa tidak sesuai dengan yang diperjanjikan dalam masa tertentu maka penjual setuju untuk mengganti atau mengembalikan uang pembeli.
Dalam pengertian ini Guarantee bersifat menyeluruh dimana opsi yang diberikan oleh penyedia atas tidak tercapainya kualitas barang hanya duamengganti barang atau uang kembali.

Warranty adalah jaminan perbaikan dan penggantian item atau bagian barang/jasa. Apabila pembeli tidak puas atau jika barang/jasa tidak sesuai dengan yang diperjanjikan dalam masa tertentu maka penjual setuju untuk memperbaiki dengan mengganti item atau bagian yang rusak.
Dalam pengertian ini Warranty bersifat parsial dan bisa disebutkan bagian dari Guarantee. Opsi yang diberikan oleh penyedia terhadap tidak tercapainya kualitas barang akibat kerusakan salah satu bagian barang adalah hanya penggantian bagian yang rusak saja.
Selain perbedaan diatas ada beberapa hal lagi yang membedakan antara guarantee dan warranty yaitu :
1.   Guarantee selalu tidak dibebankan pada harga jual barang/jasa karena diberikan oleh pabrikan. Sementara Warranty umumnya telah dibebankan pada harga jual. Semakin lama masa warranty maka harga barang juga akan semakin tinggi karena boleh dibilang warranty dijadikan indikator tingginya kualitas barang.
2.   Tidak seperti Guarantee yang diberikan oleh produsen/pabrikan, warranty biasanya disediakan oleh penjual retail atau distributor.

Apabila kita kaitkan dengan pasal 72 Perpres 54/2010 maka jaminan yang diminta adalah Guarantee. Hal ini terlihat jelas pada pernyataan ayat (3) bahwa Sertifikat Garansi diterbitkan oleh Produsen atau pihak yang ditunjuk secara sah oleh Produsen.
Apakah Warranty tidak diminta? Tentu saja warranty tetap harus diminta sebagai bagian dari kontrak. Karena bagaimanapun juga yang terikat perjanjian adalah penjual/penyedia dengan PPK, bukan PPK dengan pabrikan.
Maka jelas sekarang bahwa garansi adalah given dari pabrikan yang melekat pada barang yang dibuktikan dengan sertifikat. Sedangkan penyedia/penjual berkewajiban memberikan warranty atas item/bagian barang yang menjamin kualitas barang sesuai dengan yang diperjanjikan. Guarantee mengikat pada barang, warranty mengikat pada penyedia.
Yang keliru adalah ketika PPK merasa cukup hanya dengan warranty saja, akibatnya ketika barang rusak dalam waktu jaminan yang diperjanjikan hanya mendapatkan perbaikan bagian barang saja. Tanpa mendapatkan hak penggantian barang baru atau uang kembali.
Demikian semoga bermanfaat dalam kita memahami jaminan terkait barang yang dikehendaki oleh Perpres 54/2010.  Silakan dikoreksi jikalau ada hal yang keliru.

read more

Selasa, 12 Februari 2013

PEMBERDAYAAN, MORE THAN WORDS CAN SAY.


             Setali tiga uang dengan kata koordinasi, pemberdayaan lebih mudah terucap ketimbang terlihat wujudnya.  Setidaknya itu tergambar di lingkungan sekitar kita saat ini, bila dahulu gotong royong merupakan urat nadi kehidupan masyarakat Indonesia, kini gotong royong menjadi sebuah komoditas yang langka.  Barangkali pergeseran nilai telah terjadi, dimana informasi dan teknologi menjadi stimulannya. Namun disadari, lokomotif pembangunan bangsa ini tidak akan laju tanpa adanya peran serta masyarakatnya.  Di sinilah pemberdayaan masyarakat menjadi bagian penting dalam kerangka pembangunan indonesia sesungguhnya.

            Pemberdayaan masyarakat sejatinya bertujuan mengubah kondisi yang sebelumnya tidak berdaya menjadi memiliki kekuatan dan inisiatif untuk memperbaiki situasi yang tidak/kurang baik melalui proses interaksi sosial.  Gotong royong merupakan salah satu bentuk interaksi sosial  dimaksud.  Di situ tersirat nilai peran serta dari masyarakat pengusungnya melalui apa yang kita kenal dengan istilah swadaya, bisa berupa tenaga, uang, material dsb.  Tapi entah mengapa kita seakan kembali belajar bagaimana meraih keberdayaan masyarakat kita, bersusah payah mengajak peran serta masyarakat kita dalam pembangunan, menggalakkan kembali arti penting gotong royong, padahal konon itu merupakan ciri khas bangsa kita, dan ghalibnya lagi kita harus sampai berhutang kepada masyarakat internasional untuk mencapai itu semua, why?

            Seorang James Russell Lowell pernah berkata,”Not failure, but low aim, is crime” (tidak gagal, tapi tujuan dangkal, adalah kejahatan).  Pun pendahulu kita, Ki Hajar Dewantara juga pernah berujar, “Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani” (yang di depan memberi contoh, yang di tengah membangun kemauan, yang dibelakang mengikuti).  Harus diakui kita gagal menjaga nilai-nilai yang mengarah pada keberdayaan masyarakat, namun pertanyaanya sekarang adalah apakah cukup dengan merasa malu saja? Apakah belum puas kita menghujat diri kita sendiri? Apakah pemberdayaan masyarakat masih realistis dilaksanakan/masih mungkin terwujud?.  Bersyukur, saya menemukan jawaban itu dari buah pikir mereka berdua, bagaimana dengan Anda?    


read more

Senin, 24 September 2012

Kode Etik Ahli Pengadaan Barang Jasa Pemerintah



Kode Etik Ahli Pengadaan Indonesia merupakan pedoman profesional individu Ahli Pengadaan Indonesia yang bertanggung jawab dalam melaksanakan tugas dan kegiatan pengadaan barang dan jasa yang meliputi perencanaan, analisis, penilaian, evaluasi, pengambilan keputusan, jasa pendampingan, jasa konsultasi dan jasa lain yang terkait.
Prinsip Dasar Kode Etik Ahli Pengadaan Indonesia adalah untuk menegakkan integritas, kehormatan dan martabat profesi Ahli Pengadaan Indonesia.
  1. Menggunakan pengetahuan dan ketrampilan untuk meningkatkan kemampuan dan  profesionalisme sumber daya manusia;
  2. Bersikap jujur ​​dan adil serta tidak memihak dalam melayani pemberi tugas. kerabat kerja, klien dan masyarakat secara taat asas;
  3. Berjuang untuk meningkatkan kompetensi dan martabat profesi ahli pengadaan


Etika Dasar (1)
Ahli Pengadaan Indonesia menggunakan pengetahuan dan ketrampilan serta perilaku dalam pelaksanaan tugas dan pengambilan keputusan secara terbuka, transparan, efisien, efektif, tidak diskriminatip, persaingan sehat, akuntabel dan kredibel untuk kepentingan dan kesejahteraan publik.

Pedoman Praktek
  1. Mengakui bahwa kehidupan, keselamatan, dan kesejahteraan masyarakat tergantung pada penilaian profesional, keputusan dan implementasi;
  2. Patuh kepada peraturan perundangan terkait yang berlaku dalam bidang pengadaan barang dan jasa;
  3. Menyetujui bahwa hanya peraturan, analisis dan evaluasi serta pengambilan keputusan yang telah ditetapkan oleh pejabat otoritas yang berwenang merupakan dokumen legal dan standar prosedur baku pelaksanaan pengadaan;
  4. Memberi masukan kepada pemberi kerja dan mitra kerja atas konsekuensi yang mungkin terjadi;
  5. Memberitahu pihak berwenang apabila terjadi penyimpangan terhadap prinsip dan pelaksanaan pengadaan yang akan mengganggu keselamatan, dan kesejahteraan masyarakat;
  6. Bekerja secara transparan, akuntabel dan kredibel, konstruktif dan informatif untuk kesejahteraan masyarakat yang mencakup lindungan lingkungan dalam pembangunan yang berkelanjutan;
  7. Mencegah pemborosan dan kebocoran keuangan yang merugikan institusi pemberi kerja.


Etika Dasar (2)
Ahli Pengadaan Indonesia melakukan kegiatan pengadaan barang dan jasa sesuai peraturan, kaidah, kompetensi dan kewenangan

Pedoman Praktek
  1. Melaksanakan dan terlibat dalam tugas pengadaan bila telah memiliki kualifikasi melalui pendidikan, pelatihan atau pengalaman di bidang analisis, kajian dan penerapan prosedur pengadaan barang dan jasa;
  2. Melaksanakan tugas pengadaan barang dan jasa hanya sebatas kompetensi yang dimiliki dan wewenang yang diberikan;
  3. Bertanggung jawab atas kewenangan yang diberikan secara legal dengan membubuhkan tanda tangan pada dokumen dan laporan hasil evaluasi serta kajian pengadaan barang dan jasa.


Etika Dasar (3)
Ahli Pengadaan Indonesia memberi pendapat dan mengeluarkan pernyataan publik secara obyektif, jujur, akuntabel dan kredibel

Pedoman Praktek
  1. Memberi pendapat, kesaksian ahli, analisis dan prosedur berdasarkan pengetahuan yang memadai tentang kondisi dan dasar kompetensi;
  2. Mengeluarkan pernyataan publik secara obyektif, jujur, akuntabel dan kredibel;
  3. Memberikan laporan profesional secara benar dengan menyertakan data dan informasi terkait yang relevan;
  4. Tidak menanggapi pernyataan, kritik dan argumentasi tentang masalah pelaksanaan pengadaan barang dan jasa yang patut diduga terinspirasi atau direkayasa oleh pihak tertentu yang tidak bertanggung jawab. 



Etika Dasar (4)
Ahli Pengadaan Indonesia bekerja bagi pemberi kerja, kerabat kerja, klien dan masyarakat secara profesional, patuh dan taat asas serta menghindari konflik kepentingan

Pedoman Praktek
  1. Dalam melaksanakan tugas pelayanan, harus bekerja secara professional dan patuh serta taat asas;
  2. Hindari konflik kepentingan dengan pemberi kerja dan memberitahu pemberi kerja atas setiap kepentingannya, atau kondisi yang dapat mempengaruhi penilaian;
  3. Hindari dan menolak kompensasi dari pihak tertentu sebagai imbalan atas layanan pengadaan barang dan jasa;
  4. Hindari meminta atau menerima gratifikasi dari pihak tertentu;
  5. Hindari berpartisipasi sebagai anggota, penasehat atau karyawan dari pihak yang berhubungan dengan layanan pengadaan barang dan jasa;
  6. Hindari loyalitas ganda dan praktek duplikasi bisnis (insider trading);
  7. Memahami rencana kerja dan tujuan serta operasional institusi pemberi kerja;
  8. Hindari menggunakan informasi yang bersifat rahasia untuk keuntungan pribadi atau pihak tertentu yang merugikan pemberi kerja atau masyarakat;
  9. Hindari menerima pekerjaan profesional di luar pekerjaan rutin yang merugikan pemberi kerja;
  10. Hindari menggunakan fasilitas kerja atau  properti riil atau properti intelektual milik pemberi kerja untuk kegiatan lain tanpa persetujuan;
  11. Hindari konflik kepentingan dalam melaksanakan tugas pengadaan dan melaporkan setiap kondisi yang dapat mengakibatkan konflik kepentingan;
  12. Mendiskusikan dan menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan pengadaan barang dan jasa bersama rekan sekerja. 


Etika Dasar (5)
Ahli Pengadaan Indonesia membangun reputasi profesional berdasarkan prestasi dan bersaing secara adil dengan pihak lain.

Pedoman Praktek
  1. Hindari meminta atau menerima baik secara langsung atau tidak langsung apapun yang berkaitan dengan kontribusi politik dan gratifikasi;
  2. Penentuan negosiasi jasa layanan profesional dilakukan secara adil dan atas dasar kompetensi dan kualifikasi;
  3. Melakukan kerja sama dalam bentuk kemitraan atau outsourcing ahli pengadaan Indonsia harus dilaksanakan secara jujur;
  4. Mengusulkan atau menerima komisi jasa profesional berdasarkan kontingensi/ prosentasi dan hanya dapat dilakukan dalam keadaan dimana penilaian profesional tidak akan dikompromikan
  5. Penyediaan informasi data pribadi (curiculum vitae) dilakukan secara akurat sesuai data autentik tentang kualifikasi akademik dan profesional serta pengalaman;
  6. Memberikan penghargaan yang layak kepda ahli pengadaan yang berkontribusi dan berprestasi dalam memajukan fungsi pengadaan;
  7. Mengakui kepentingan kepemilikan dan karya orang lain;
  8. Mempublikasikan dan mengiklankan layanan profesional pengadaan, dilaksanakan secara akurat, benar dan tidak menyesatkan serta sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
  9. Hindari kesalahan langsung atau tidak langsung yang mencederai reputasi professional pengadaan;
  10. Hindari berpandangan negatip terhadap profesi dan hasil kerja orang lain;
  11. Menolak untuk menggantikan ahli pengadaan yang sedang bertugas, karena diragukan bermasalah berdasarkan informasi yang beredar yang belum jelas kebenarannya.


Etika Dasar (6)
Ahli Pengadaan Indonesia menegakkan dan meningkatkan kehormatan, integritas, dan martabat profesi ahli pengadaan Indonesia, tanpa memberi toleransi kepada korupsi, kolusi dan nepotisme.

Pedoman Praktek
  1. Menegakkan kehormatan, integritas dan martabat profesi ahli pengadaan;
  2. Menghindari terlibat dalam praktik bisnis yang bersifat penipuan;
  3. Melakukan kontrol pengeluaran uang secara jujur dan tidak memihak;
  4. Menghindari praktek korupsi, kolusi dan nepotisme;
  5. Menghindari segala bentuk praktek suap.


Etika Dasar (7)
Ahli Pengadaan Indonesia melanjutkan pengembangan profesional sepanjang karier dan memelihara keahlian khusus.

Pedoman Praktek
  1. Aktif dalam praktek profesional, berpartisipasi dalam kursus dan pendidikan berkelanjutan, membaca literatur teknis, dan menghadiri pertemuan profesional dan seminar;
  2. Mendorong staff dan mitra kerja untuk memiliki lisensi, bersertifikat dan terdaftar sebagai ahli pengadaan Indonesia;
  3. Menghadiri dan mempresentasikan makalah pada pertemuan masyarakat profesional;
  4. Menjalin hubungan ahli pengadaan dengan mitra kerja mengenai  ketenagakerjaan, sistem penggajian dan tunjangan;
  5. Memutahirkan pengetahuan tentang perkembangan dunia bisnis.



Etika Dasar (8)
Ahli Pengadaan Indonesia mengembangkan diri dalam profesional bidang keilmuan lainnya.

Pedoman Praktek
  1. Mengembangkan keahlian di bidang lain dengan cara terlibat dalam praktek profesional, berpartisipasi dalam kursus, pendidikan berkelanjutan, seminar, memahami literatur teknis, dan menghadiri pertemuan profesional;
  2. Menjalin kerja sama dengan ahli di bidang  profesi lain;
  3. Mengembangkan pengetahuan pribadi.


Sumber : IAPI (Ikatan Ahli Pengadaan Indonesia)









read more